“Agama ki simple, sing marakke ruwet ki menungsone.”

oleh Kanjeng Machrus pada 18 September 2012 pukul 9:59 ·


Sulit memang, banyak orang yang terjebak ritual belaka. Ritual memang penting namun itu hanya metoda. Antara horizontal dan vertikal harus “stereo”.  Islam adalah agama “aksi”. Lihat saja dalam Quran 96,5 % berisi tentang muamallah, sedang  Allah hanya butuh yang 3,5 %. Muamallah itu hubungan sesama manusia, dan  rumusnya adalah “lakukan apa saja kecuali yang Allah larang”.

Hanya orang awam yang membayangkan Islam hanya pada sosok orang bersurban, sedang sujud, atau orang berpeci membawa tasbih dengan latar belakang masjid atau orang sing bathukke ireng. Sebaliknya jika melihat langsung seorang petani yang bersimbah lumpur sedang sibuk mencangkul tanah dengan sesekali mengucap Allahu Akbar karena takjub dan bersyukur atas karunia tanah yang subur dari Allah, dianggapnya bukan (simbol) Islam.

Seorang pengamen siter tua yang mengalunkan gending Jawa dengan tema syair tentang kebesaran Allah dan keindahan alam, dianggapnya tidak sedang menyanyikan lagu “religi”. Yang dianggap lagu “religi” hanya lagunya Opick, Bimbo, Nasyida Ria, atau GIGI yang kebetulan menyanyikan lagu Perdamaian, atau lagu apa saja yang harus memuat penggalan-penggalan syair Bismillah, Alhamdulillah, Allah, dst.



Esensi atau inti ajaran Islam bukan terletak pada simbol-simbolnya, namun nilai yang dikandung di dalamnya sebagai dasar untuk “aksi” tadi. Kita tentu saja boleh bangga pakai jubah, sorban, kathok cingkrang, bathuk ireng atau jenggot panjang, namun ini bukan esensi Islam (karena Abu Lahab dan Abu Jahal juga pakai pakaian ini dan mulus lagi kainnya, padahal jubahnya Umar bin Khattab penuh dengan tambalan).

Kita boleh umroh ratusan kali, boleh zikir setiap malam, boleh puasa sebanyak mungkin sesuai tuntunan Islam, sholat sunat puluhan kali, dst, namun jangan lupa bahwa kita juga dianjurkan menengok tetangga kiri kanan apakah mereka bisa makan atau tidak, kita itu juga sangat dianjurkan “memayu hayuning bawono”. Jadi ora mung ngecuprus bab-bab sing marai  pecah umat.

Begitu pula Jihad di jalan Allah itu bukan peristiwa di permukaan saja, seperti dengan gagah berani mengobrak-abrik minuman keras yang dijual pedagang kecil di warung remang-remang pinggiran jalan, atau demo besar-besaran tentang Nabi Muhammad yang dihina melalui film yang menewaskan satu korban yang salah sasaran, sementara terhadap kasus penggundulan hutan atau kasus korupsi lainnya kita diam saja. Beraninya cuma lawan yang kelas instan. Sementara yang level sistemik kita tak pernah mau belajar melawan.

Sunnah rosulullah banyak yang kita tinggalkkan, tapi kita masih GR seakan akan kitalah pembela sang nabi. Sehingga kita berada di garis depan untuk urusan yang anarkis, sementara untuk urusan sunnah yang lain kita ogah-ogahan.

Begitu pula manusia banyak yang melawan “sunatullah”. Sudah tahu bahwa kompor menyala itu panas, masih juga nekad diduduki. Bagi mereka yang “sok islami”, malahan menantang kompor itu dan berbekal doa Nabi Ibrahim. Akhirnya ya kebrongot pantatnya.  Tentu saja Allah akan tersenyum, “Kita telah berbagi tugas”, kata Allah. Aku menciptakan hutan (kata Allah), kamu manusia silakan bikin kursi, tapi jangan kamu rusak alam ini.

Karenanya untuk menghindari bencana, jangan melawan sunatullah, apalagi setelah itu mengkambing-hitamkan Allah, atau setidaknya GR bahwa Allah sedang menguji kita (padahal Allah meng-azab-nya). Kalau kita rajin menebangi hutan sembarangan, jangan kemudian bilang Allah menguji kita manakala banjir bandang datang. Itu azab bro..
Ayo jihad, tapi pertama mari kita ndandani pola pikir kita dulu.. biar nggak salah kaprah..

Dus i…

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.